Selasa, 21 April 2015

AKSARA SUNDA



KULIAH UMUM PENGAYAAN BAHASA DAN BUDAYA SUNDA
Dr. ELIS SURYANI NS, MS.
STRATEGI DAN METODE PENELITIAN AKSARA SUNDA

Dalam Sejarah

Aksara Sunda disebut pula aksara Ngalagena. Menurut catatan sejarah aksara ini telah dipakai oleh orang Sunda dari abad ke -14 sampai abad ke- 18. Jejak aksara Sunda dapat dilihat pada Prasasti Kawali atau disebut juga Prasasti Astana Gede yang dibuat untuk mengenang Prabu Niskala Wastukancana yang memerintah di Kawali, Ciamis, tahun 1371-1475. Prasasti Kebantenan yang termaktub dalam lempengan tembaga, berasal dari abad ke-15 juga memakai aksara Sunda Kuno.
Setidaknya sejak Abad IV masyarakat Sunda telah lama mengenal aksara untuk menuliskan bahasa yang mereka gunakan. Namun demikian pada awal masa kolonial, masyarakat Sunda dipaksa oleh penguasa dan keadaan untuk meninggalkan penggunaan Aksara Sunda Kuna yang merupakan salah satu identitas budaya Sunda. Keadaan yang berlangsung hingga masa kemerdekaan ini menyebabkan punahnya Aksara Sunda Kuna dalam tradisi tulis masyarakat Sunda.
Pada akhir Abad XIX sampai pertengahan Abad XX, para peneliti berkebangsaan asing (misalnya K. F. Holle dan C. M. Pleyte) dan bumiputra (misalnya Atja dan E. S. Ekadjati) mulai meneliti keberadaan prasasti-prasasti dan naskah-naskah tua yang menggunakan Aksara Sunda Kuna. Berdasarkan atas penelitian-penelitian sebelumnya, pada akhir Abad XX mulai timbul kesadaran akan adanya sebuah Aksara Sunda yang merupakan identitas khas masyarakat Sunda diantara naskah-naskah itu adalah Waruga Guru, Pegon, Lontar dll.

Perbandingan antara Aksara Sunda Baku dan Sunda Kuna

Sebagaimana diungkapkan di atas, Aksara Sunda Baku merupakan hasil penyesuaian Aksara Sunda Kuna yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda kontemporer. Penyesuaian itu antara lain didasarkan atas pedoman sebagai berikut:
1.       bentuknya mengacu pada Aksara Sunda Kuna sehingga keasliannya dapat terjaga,
2.       bentuknya sederhana agar mudah dituliskan,
3.       sistem penulisannya berdasarkan pemisahan kata demi kata,
4.       ejaannya mengacu pada Bahasa Sunda mutakhir agar mudah dibaca.
Dalam pelaksanaannya, penyesuaian tersebut meliputi penambahan huruf (misalnya huruf va dan fa)

Sistem Aksara Sunda

Aksara Sunda berjumlah 32 buah, terdiri atas 7 aksara swara atau vokal (a, é, i, o, u, e, dan eu) dan 23 aksara ngalagena atau konsonan (ka-ga-nga, ca-ja-nya, ta-da-na, pa-ba-ma, ya-ra-la, wa-sa-ha, fa-va-qa-xa-za). Aksara fa, va, qa, xa, dan za merupakan aksara-aksara baru, yang dipakai untuk mengonversi bunyi aksara Latin. Secara grafis, aksara Sunda berbentuk persegi dengan ketajaman yang mencolok, hanya sebagian yang berbentuk bundar.
Aksara swara adalah tulisan yang melambangkan bunyi fonem vokal mandiri yang dapat berperan sebagai sebuah suku kata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata.
Sedangkan aksara ngalagena adalah tulisan yang secara silabis dianggap dapat melambangkan bunyi fonem konsonan dan dapat berperan sebagai sebuah kata maupun sukukata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Setiap konsonan diberi tanda pamaeh agar bunyi ngalagena-nya mati. Dengan begitu,aksara Sunda ini bersifat silabik, di mana tulisannya dapat mewakili sebuah kata dan sukukata. Berikut
Ada pula para penanda vokal dalam aksara Sunda, yakni: panghulu, panyuku, pamepet, panolong, paneleng dan paneuleung. Berikut penanda vokal dalam sistem aksara Sunda. Selain pamaeh konsonan, ada pula variasi fonem akhiran, yakni: pangecek (akhiran-ng), panwisad (akhiran-h), dan panglayar (akhiran-r). Ada pula fonem sisipan yang disimpan ditengah-tengah kata, yakni pamingkal (sisipan-y-), panyakra (sisipan-r-), dan panyiku (sisipan-l-).

Rabu, 08 April 2015

Legenda Curug Panganten

LEGENDA DAN MITOS CURUG PENGANTEN BANDUNG JAWA BARAT
Zaman dulu ada suatu peristiwa yang cukup mengenaskan dari sepasang pengantin yang berlayar di sungai ini. Pada saat pengantin itu berlayar, mereka bercanda-canda sehingga membuat perahu yang mereka tumpangi hilang kendali dan terbalik, mereka pun terjatuh dari perahunya. Alhasil karena saat itu arus sungainya lagi deras-derasnya, maka pengantin tersebut terbawa arus, dan konon katanya lagi jasad dari sepasang pegantin tersebut tak diketemukan setelah masyarakat mencarinya.
Ya terlepas dari kabar legenda itu, air di sungai Curug Panganten ini masih jernih dan lingkungan sekitarpun masih sangat asri serta udara yang sejuk. Jika Anda mau kesana jarak yang harus ditempuh dari jalan utama itu sekitar 400 m dan jalan masuknya tepat berada di sisi Jembatan Sungai Citanduy yang terletak di Kawasan Wisata Sejarah Karangkamulyan.
Akses jalan kendaraan menuju Curug Panganten harus terhenti pada jarak 50 meter. Selanjutnya, perjalanan dapat disambung dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Oh iya, jangan lupa siap sedia dengan perbekalan makanan dan minuman sendiri karena di tempat wisata alam ini jarang pedagang yang menjajakan makanan untuk kebutuhan kita nanti bila ke Curug Panganten.
Yah namanya juga juga air terjun, pastilah ada beberapa misteri yang akan dikisahkannya kepada kita. Di Curug Panganten ini suka terdengar suara gamelan, para penduduk sekitar yang bermukim di dekat Curug Panganten sudah tidak asing lagi dengan suara gamelan tersebut karena sudah sering terdengar oleh mereka. Di salah satu batu besar yang ada di Curug Panganten selalu terdengar nyaring suara gamelan setiap malam jumat kliwon. Bahkan bukan suaranya saja yang terdengar tapi gamelannyapun pun dapat dilihat.
Di dekatnya Curug Panganten terdapat sebuah batu yang bernama Batu Bedil atau senapan. Bentuknya sudah jelas menyerupai sebuah Bedil. Mitos yang beredar di masyarakat setempat tentang Batu Bedil ini adalah jika suatu saat nanti saat terjadinya kiamat, Batu Bedil ini akan meledak dan menembak kawasan beberapa dusun yang ada di Desa Patakaharja, ya terserah Anda mau mempercayainya atau tidak.