KULIAH UMUM PENGAYAAN BAHASA DAN BUDAYA SUNDA
Dr. ELIS SURYANI NS, MS.
STRATEGI DAN METODE PENELITIAN AKSARA SUNDA
Dalam Sejarah
Aksara Sunda disebut
pula aksara Ngalagena. Menurut catatan sejarah aksara ini telah dipakai oleh
orang Sunda dari abad ke -14 sampai abad ke- 18. Jejak aksara Sunda dapat
dilihat pada Prasasti Kawali atau disebut juga Prasasti Astana Gede yang dibuat
untuk mengenang Prabu Niskala Wastukancana yang memerintah di Kawali, Ciamis,
tahun 1371-1475. Prasasti Kebantenan yang termaktub dalam lempengan tembaga,
berasal dari abad ke-15 juga memakai aksara Sunda Kuno.
Setidaknya sejak Abad
IV masyarakat Sunda
telah lama mengenal aksara untuk menuliskan bahasa yang mereka gunakan. Namun
demikian pada awal masa kolonial, masyarakat Sunda dipaksa oleh penguasa dan
keadaan untuk meninggalkan penggunaan Aksara Sunda Kuna yang merupakan salah
satu identitas budaya Sunda. Keadaan yang berlangsung hingga masa kemerdekaan
ini menyebabkan punahnya Aksara Sunda Kuna dalam tradisi tulis masyarakat
Sunda.
Pada akhir Abad XIX
sampai pertengahan Abad XX, para peneliti berkebangsaan asing (misalnya K. F.
Holle dan C. M. Pleyte) dan bumiputra (misalnya Atja dan E. S. Ekadjati) mulai
meneliti keberadaan prasasti-prasasti dan naskah-naskah tua yang menggunakan
Aksara Sunda Kuna. Berdasarkan atas penelitian-penelitian sebelumnya, pada
akhir Abad XX mulai timbul kesadaran akan adanya sebuah Aksara Sunda yang
merupakan identitas khas masyarakat Sunda diantara naskah-naskah itu adalah
Waruga Guru, Pegon, Lontar dll.
Perbandingan antara
Aksara Sunda Baku dan Sunda Kuna
Sebagaimana diungkapkan
di atas, Aksara Sunda Baku merupakan hasil penyesuaian Aksara Sunda Kuna yang
digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda kontemporer. Penyesuaian itu antara
lain didasarkan atas pedoman sebagai berikut:
1.
bentuknya mengacu pada
Aksara Sunda Kuna sehingga keasliannya dapat terjaga,
2.
bentuknya sederhana
agar mudah dituliskan,
3.
sistem penulisannya
berdasarkan pemisahan kata demi kata,
4.
ejaannya mengacu pada
Bahasa Sunda mutakhir agar mudah dibaca.
Dalam pelaksanaannya,
penyesuaian tersebut meliputi penambahan huruf (misalnya huruf va dan fa)
Sistem Aksara Sunda
Aksara Sunda berjumlah 32 buah, terdiri atas 7 aksara swara atau vokal (a, é, i, o, u, e, dan eu) dan 23 aksara ngalagena atau konsonan (ka-ga-nga, ca-ja-nya, ta-da-na, pa-ba-ma, ya-ra-la, wa-sa-ha, fa-va-qa-xa-za). Aksara fa, va, qa, xa, dan za merupakan aksara-aksara baru, yang dipakai untuk mengonversi bunyi aksara Latin. Secara grafis, aksara Sunda berbentuk persegi dengan ketajaman yang mencolok, hanya sebagian yang berbentuk bundar.
Aksara swara adalah tulisan yang melambangkan bunyi fonem vokal mandiri yang dapat berperan sebagai sebuah suku kata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata.
Sedangkan aksara ngalagena adalah tulisan yang secara silabis dianggap
dapat melambangkan bunyi fonem konsonan dan dapat berperan sebagai sebuah kata
maupun sukukata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah
kata. Setiap konsonan diberi tanda pamaeh agar bunyi ngalagena-nya mati. Dengan
begitu,aksara Sunda ini bersifat silabik, di mana tulisannya dapat mewakili
sebuah kata dan sukukata. Berikut
Ada pula para penanda vokal dalam aksara Sunda, yakni: panghulu,
panyuku, pamepet, panolong, paneleng dan paneuleung. Berikut penanda vokal
dalam sistem aksara Sunda. Selain pamaeh konsonan, ada pula variasi fonem
akhiran, yakni: pangecek (akhiran-ng), panwisad (akhiran-h), dan panglayar
(akhiran-r). Ada pula fonem sisipan yang disimpan ditengah-tengah kata, yakni
pamingkal (sisipan-y-), panyakra (sisipan-r-), dan panyiku (sisipan-l-).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar